Jumat, 28 Januari 2011

Dhaman dan Khafallah

A. Dhaman (jaminan)

1. Pengertian Dhaman
Ialah menangguang hutang seseorang atau mengembalikan barang dan menghadirkan seseorang ke tempat yang ditentukan.
2. Hukum Dhaman
Menanggung hutang seseorang yang sudah tetap dan diketahui kadarnya Rasulullah hukumnya sah.


3. Syarat dan Rukun Dhaman
a. Orang yang menjamin. Syaratnya: baligh, berakal, atas kehendak sendiri berhak membelanjakan harta dan mengetahui adanya jaminan-jaminan.
b. Orang yang berhutang. Syaranya berhak memerlanjakan harta
c. Yang berpiutang. Syaratnya; ialah diketahui oleh orang yang menjamin.
d. Utang atau barang yang dihadirkan kembali atau orang yang dihadirkan syaratnya harus diketahui ukuran, keadaan dan jumlahnya serta waktunya dan tetap keadaannya.
e. Lafaz; syaratnya mengandung syarat kandunngan makna jaminan tidak digantungkan kepada yang lain dan tidak berarti sementara.

SYARAT – SYARAT RUKUN DHAMAN
a. Jaminan tidak mengandung penipuan
b. Masing – masing pihak tidak boleh khianat kpada pihak lain
c. Jaminan bukan merupakan kewajiban misalnya Menjamin nafaqah kepada anak dan isteri
d. Jaminan harus pasti tertentu

4. Cara pembayaran Dhaman
Cara pembayaran dhaman adalah Barang siapa yang berpiutang berhak menagih kepada orang yang menjamin ata u kepada orang yang berhutang. Apabila hutang sudah dibayar oleh peminjam dengan seizin orang yang berhutang maka penjamin berhak minta ganti kepada kepada orang yang berhutang. Apabila salah satu dhaman atau ishil meninggal dunia sedang belum sampai masa pelunasan maka pelunasan menjadi lepas waktu itu atas yng mati. Dhaman berhak minta ganti kembali kepada ashil (madhmu anhu) jika telah membayar hutangnya .
Shignat (lafaz)untuk dhaman & kafalah adalah seperti kamu menanggung piutangmu lantas kamu menjamin atas harta atau mendatangkan sesuatu .Apabila kamu berkata Akan saya bayarkan harta atau mendatangkan sesuatu maka pertanyaan itu menjadi janji yang wajib dilaksanakan .

B. KAFALAH
1. Pengertian Kafalah
Kafalah menurut bahasa berarti menanggung .Firman Allah SWT

Artinya : “Dan Dia (Allah) menjadikan Zakaria sebagai penjaminnya (Maryam)”.(Ali Imran: 37).

Menurut syara’ arti kafalah adalah menanggung atau menjamin seseorang dihadirkan dalam suatu tuntutan hukum dipengadilan pada saat dan tempat yang ditentukan .

2. Dasar Hukum Kafalah
Para fuqaha’ bersepakat tentang kafalah dan masalah ini telah dipraktekkan umat islam hingga kini .Firman Allah SWT

Artinya: “Ya’qub berkata : “Aku sekali – kali tidak akan melepaskannya (pergi)bersama – sama kamu, sebelum kamu membrikan kepaaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali .” (Yusuf: 66).

Sabda Rasulullah SAW :



Artinya: “Penjamin adalah orang yang berkewajiban membayar”. ( HR.Abu Dawud dan Turmudji)’

3. Syarat dan Rukun Kafalah
1. Rukun Kafalah
a. Kafiil( ), yaitu orang berkewajiban mnnggung .

b. Ashiil ( ), yaitu orang yang berhutang atau orang yang brtanggung akan kewajibannya.

c. Makful lahu ( ), yaitu orang yang menghutangkannya .

d. Makful bihi ( ), yaitu orang atau barang atau pekerjaan yang

Wajib dipenuhi oleh yang ihwalnya ditanggung (makful ‘anhu).

2. Syarat Kafalah
a. Syarat kafiil adalah baligh, berakal, orang yang diperbolehkan menggunakan hartanya secara hukum, tidak dipaksa (rela dengan kafalah ).
b. Ashiil tidak disyaratkan balig, berakal, kehadiran dan kerelaannya, tetapi siapa saja dapat ditanggung (dijamin oleh kafiil).
c. Makful lahu disyaratkan dikenal oleh kafiil (orang yang menjamin).
d. Makful bihi disyaratkan diketahui jenis, jumlah, kadar atau pekerjaan .

3. Macam – macam Kafalah
Kafalah ada dua macam, yaitu:
1. Kafalah jiwa
2. Kafalah harta
Kafalah jiwa ialah adanya kewajiban bagi penanggung untuk menghadirkan orang yang ditanggung kepada yang ia dijanjikan tanggungan ( makful lahu). Seperti ucapan : “Aku jamin dapat mendatangkan Ahmad dalam persidangan nanti”. Ketentuan ini boleh selama masih menyangkut hak manusia, namun sudah berkaitan dengan hak-hak Allah tidak sah kaflah, seperti menanggung atau mengganti dari had zina, mencuri, qishas dan lain-lain.
Kafalah harta terbagi menjadi 3 jenis yaitu:
1. Kafalan bi ad dain ( ) yaitu kewajiban membayar hutang yang menjadi tanggungan orang lain dengan syarat nilai barang atau harta yang dihutang itu tetap pada waktu terjadinya transaksi jaminan dan barang atau harta yang dijamin itu jumlah, kadar, dan jenisnya diketahui oleh penjamin .
2. Kafalan dengan materi ( ) yaitu kewajiban menyerahkn materi tertentu yang ada di tangan oranng lain.
3. Kafalah degan jarak ( ) yaitu barang yang didapati berupa harta terjual dan mendapat bahaya lantaran sebab lama yang ada pada barang julan.

4. Berakhirnya Kafalah
Kafalah berakhir apabila kewajiban dari penanggung sudah dilaksakan engan baik atau makful lahu membatalkan akad kafalan karena merelakannya.
5. Hikmah Kafalah
1. Adanya unsur tolong menolong antar sesama.
2. Orang yang jamin (ashiil) terhindar dari perasaan malu atau tercela.
3. Makful lahu akan terhindar dari unsur penipuan.
4. Kafiil akan mendapatkan pahala dari Allah SWT karena telah menolong orang lain.

Sabtu, 22 Januari 2011

Syarat-syarat Nikah


Dalam pandangan Islam, sebuah pernikahan itu sah apabila telah memenuhi dari syarat-syarat nikah, yaitu : 
1.      Ayah kandung mempelai perempuan yang menikahkan atau bisa diwakilkan kepada penghulu. Kalau tidak ada ayah kandung, harus ada wali untuk mempelai wanita.
2. Dua orang saksi.
3. Tentu saja ada mempelai. Mengenai mempelai ini, mempelai laki-laki bisa diwakili apabila berhalangan hadir.
4.Mas kawin. 
5. Pernikahan dilakukan dengan tatacara Islam, nikah siri dilakukan sesuai dengan tata cara Islam sehingga pernikahan yang disebut nikah siri itu sah secara Islam. Akan tetapi dalam pandangan hukum negara tidak sah. karena bukti dari nikah berupa catatan pernikahan.

UUD Yang Mengalami Perubahan


BAB II
PEMBAHASAN
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR ATURAN PERALIHAN DAN ATURAN TAMBAHAN
  1. Perubahan Undang-Undangan Dasar
Pasal terakhir Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pasal 37 mengatur tentang perubahan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi:

a.                                untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir:
b.                                putusan di ambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota yang hadir.
Jadi menurut pasal 37 perubahan undang-undang diserahkan kepada MPR yang notabene bukan merupakan badan perundang-undangan biasa. Dan menurut pasal 2 ayat (1) MPR terdiri atas anggota-anggota MPR ditambah dengan utusan –utusan daerah  dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. (sebelum amandemen).
Dan dalam perubahan  ada 4 cara perubahan Undang-Undang menurut apa yang dikemukakan strong dilihat dari badan yang ditugaskan mengadakan perubahannya[1] :
1.      Perubahan diserahkan kepada legislature (pembuat undang-undang sehari-hari) tetapi dangan syarat-syarat tertentu yang lebih berat ;
2.      Perubahan diserahkan langsung kepada rakyat dengan jalan referendum ;
3.      Perubahan diserahkan kepada keputusan sebagian terbesar dari negara-negara bagian di dalam negara yang bersusunan federal (terhadap undang-undang dasar federalnya ;
4.      Perubahan diserahkan kepada suatu badan yang secara khusus dibentuk untuk tugas itu.
Undang-Undang Dasar wajib kita junjung tinggi, kerena ia merupakan modal dan ketentuan yang kita buat sendiri. Dengan Undang-Undang Dasar 1945 itu rakyat Indonesia telah berjuang dan menang, dengan Undang-Undang Dasar 1945 ini pulalah Republik kita tegakkan dan perjuangan serta keadilan, kebenaran dan demokrasi kita laksanakan. Akan tetapi bagaimanapun juga Undang-Undang Dasar tetap merupakan alat untuk mencapai tujuan kita, yakni masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.dengan demikian perlulah diberi jalan keluar untuk memungkinkan perubahan jika kemudian hari memang perlu dirasakan untuk mengadakan perubahan. Jalan untuk mengadakan perubahan itu adalah sesuai dengan sistematika hukum pada umumnya dan khususnya bagi suatu Undang-Undang Dasar. Namun perubahan Undang-Undang Dasar 1945 hanya berlaku bagi Batang Tubuhnya, sedang pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat diubah.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, yang telah bertekad untuk tidak mengubah Undang-Undang Dasar 1945, walaupun hanya Pasal-Pasalnya (Batang Tubuh). Hal tersebut tercermin dalam ketetapan-ketetapan MPR masa Orde Baru.
Pada masa Orde Reformasi sekarang ini, berdasarkan tuntutan reformasi yang didengungkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia melalui MPR yang merupakan hasil Pemilu Reformasi telah sepakat untuk mengadakan perubahan-perubahan.
Sebelum berakhir Sidang Umum MPR tahun 1999, MPR pada tanggal 19 oktober 1999 telah mengadakan Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar 1945, selanjutmya berdasarkan ketetapan MPR No. DC/MPR/1999, Badan Pekerja MPR mendapat tugas untuk melanjutkan perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun beberapa contoh Perubahan Pertama MPR tanggal 19 oktober 1999, adalah sebagai berikut
Pasal 5 ayat (1)
Semula berbunyi: Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR.
Diubah menjadi: (1) Presiden beerhak mengajukan rancangan Undang-Undang kepada DPR. (2) tetap.
Pasal 7
Semula berbunyi: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Diubah menjadi: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Pasal 9
Semula tanpa ayat dan berbunyi: Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan MPR atau DPR sebagai berikut.........
Dilanjutkan dengan isi sumpah dan janji.
Diubah menjadi:   (1) tetap
(2) jika MPR atau DPR tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah Agung. Jadi, perubahan pasal 9 hanya ada tambahan ayat (2)
Demikian beberapa perubahan pertama oleh MPR pada tanggal 19 oktober 1999, dan sesuai dengan TAP MPR No. IX/MPR/1999, yang menugaskan Badan Pekerja MPR untuk melanjutkan perubahan Undang-Undang Dasar 1945.


  1. Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 terdapat Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan sebagai berikut:

a.                                Aturan Peralihan, terdiri dari 4 pasal:
Pasal I :  Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatur dan menyelenggarakan kepindahan kepada pemerintah Indonesia.
Pasal II :    Segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Passal III :  untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Pasal IV :  Sebelum MPR, DPR, dan Dewan Pertimbanngan  Agung dibentukmenurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.

b.                                Aturan Tambahan, terdiri dari 2 ayat:
1)      dalam enam bulan sesudah akhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala yang hal diterapkan dalam Undang-Undang Dasar ini:
2)      dalam enam bulan sesudah MPR dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.
Aturan Peralihan tersebut adalah termasuk dalam lingkungan Hukum Transitor, yaitu hukum yang berlakku dalam suatu masa peralihan (peralihan dari suatu Pemerintahan Negara kepada Pemerintahan  Negara yang lain/baru). Aturan Peralihan ini diperlukan untuk mencegah kekosongan atau kevakkuman hukum akibat Proklamasi 17 agustus 1945 yang menjadi tonggak pemisah antara tata hukum kolonial dan tata hukum nasional.

Adanya Aturan Tambahan itu menunjukan bahwa Undang-Undang Dasar yang disahkan pada tanggal 18 agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) semula dimaksudkan sebagai Undang-Undang Dasar yang bersifat sementara. Dan wewenang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia berada ditangan MPR hasil Pemilihan Umum (pasal 3 UUD 1945). Namun oleh proses sejarah hukum, melalui Dekrit Presiden 5 juli 1959 yang dikukuhkan oleh TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 jo. TAP MPR No. V/MPR/1973, Undang-Undang Dasar 1945 telah kehilangan sifatnya yang ”sementara” itu.

Mengenai Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan tidak perlu dipermasalahkan lagi, karena kecuali paal 2 Aturan Peralihan yang menyangkut kedudukan peraturan-peraturan yang masih berlaku, pasal-pasal lainnya dan Aturan Tambahan sudah tidak berlaku atau tidak mempunyai fungsi lagi sekarang ini. Namun tidak perlu dihilangkan, karena mempunyai nilai historis.
Demikian pokok-pokok uraian mengenai Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 berikut perubahan-perubahan yang sudah terjadi.
Undang –undang dasar 1945 ini sendiri  telah mengalami 4 kali perubahan dan penambahan[2] yaitu pada sidang umum MPR RI tanggal 19 Oktober 1999, sidang tahunan MPR RI 18 Agustus 2000, sidang tahunan MPR RI 9 November 2001, dan pada sidang tahunan MPR RI 10 Agustus 2002 Ada beberapa aspek yang bisa kita telaah lebih lanjut mengenai perubahan undang-undang dasar dari ketika ia dicetuskan sampai pada perubahan dan penambahannya di masa sekarang



[1]       Joeniarto, S.H. : Selayang Pandang Tentang Sumber Hukum Di Indonesia.
[2]       H. Subandi Al Marsudi, Sh, Mh. : Pancasila dan UUD 45 Dalam Paradigma Reformasi